Cerita I
Banyak
orang yang mendaki tangga sukses dan sampai diatas, eh tarnyata tangganya
bersandar di dingding yang keliru. Cerita dibawah ini mengilustrasikan
bagaimana seseorang yang merubah diri dan memilih dinding tangga yang benar.(Cerita diambil dari buku Living the 7
habits)
Saya sedang duduk di
sebuah restoran bersama seorang pemuda yang telah bekerja dikantor kami
kira-kira lima tahun. Ia punya rumah besar, mobil mewah dll. Sambil makan siang
kami mulai membicarakan soal definisi sukses. Saya singgung soal pernyataan
Misi. Katanya dia belum pernah dengar tentang konsep tersebut. Untuk
mendemonstrasikan bagaimana cara menyusun pernyataan misi, saya tanyakan
kepadanya, apa yang penting baginya. Ia pun mulai menyebutkan segala yang ingin
dilakukannya. Ternyata tak satupun ada hubungannya dengan pekerjaannya.
Saya jadi ingin tahu, “Lalu,
apa kamu bahagia?” saya tanyakan kepadanya setelah ia selesai bercerita.
Katanya, “Ya, Tidak”
Kata saya, “Tapi Kamu
sukseskan?” dan sedikit tertawa. Ia Cuma duduk diam sambil merenung.
Saya tidak ketemu dia
lagi selama beberapa bulan karena kami berdinas ketempat tujuan yang berbeda. Suatu
hari, saya lihat dia dikoridor kantor. Karena ingin mengetahui lebih lanjut
tentang kabarnya, saya pikir saya akan temani dia menuju tempat tujuannya. “Hai
Jhoni mau kemana, tunggu. Mau kemana? Yuk aku temani.”
“Aku tidak mau
kemana-mana. Ini hari terakhirku bekerja disini kok”, katanya sambil tersenyum
lebar.
Saya terkejut. “Apa?”.
“Yak ok. Aku baru mau
ketemu boss. Ia Tanya mengapa aku mengundurkan diri. Aku bilang ini karena
kesalahanmu.”
“Ah, jangan begitu
dong. Kamu bercanda ya. Mengapa kamu bilang begitu?”
“Ya, aku ceritakan sama
dia tentang percakapan kita di El Paso. Soal bagaimana kamu membuatku
merenungkan hidupku untuk melihat apakah aku sedang melakukan apa yang ingin aku
lakukan dengan hidupku. Ternyata tidak. Maka aku pun mengundurkan diri dari
pekerjaan ini dan mulai melakukan hal-hal yang sungguh aku sukai. Terimakasih ya”
Sudah dua tahun saya
belum ketemu lagi sama dia. Ketika ia mengundurkan diri, ia dan istinya memulai
mendirikan perusahan kontraktor atap karena ia suka bekerja dengan kayu. Dulu ia
berkecimpung dibidang telkomunikasi; sekarang ia membuat atap serta beranda. Dan
tahu tidak? Ia bahagia loh karena bisa melakukan apa yang ia inginkan dan
cita-citakan.
----------------------------------------------------------------------------
Sebagian orang mengatakan bahwa kebahagiaan itu
letaknya pada harta. Akan tetapi yang berpikiran begini adalah orang yang
putus asa dalam kemiskinannya. Hendak menjadi kaya namun selalu
gagal. Kadang-kadang pendapatnya tak didengar orang lantaran ia miskin.
Karena itu diputuskannyalah bahwa bahagia itu pada uang, bukan lainnya.
Pada dasarnya mereka yang menilai kebahagiaan
dengan materi hanyalah orang-orang yang tertipu, karena segala sesuatu yang ada
di dunia ini hanya memiliki harga sesuai kemampuan manusia untuk menghargainya.
Contoh cerita diatas menunjukan kepada
kita bagaimana seorang pria yang sukses dan memiliki segalanya tapi tidak
merasa bahagia lantaran pekerjaanya tidak sesuai dengan keahliannya sehingga
jabatan, kekayaannya tidak berarti baginya dan dia tidak menemukan kebahagian dari
apa yang dia dapat selama bekerja. Setelah ia merenungkan semua yang ia
kerjakan dan memahaminya akhirnya ia memutuskan untuk mengerjakan apa yang
sebenernya ia inginkan dan akhirnya ia menemukan kebahagian itu yang selama ini
tidak ia dapat.
Menurut Hamka, Islam mengajarkan pada manusia
empat jalan untuk menuju kebahagiaan. Pertama, harus ada i’tiqad, yaitu
motivasi yang benar-benar berasal dari dirinya sendiri. Kedua, yaqin,
yaitu keyakinan yang kuat akan sesuatu yang sedang dikerjakannya. Ketiga,
iman, yaitu yang lebih tinggi dari sekedar keyakinan, sehingga dibuktikan oleh
lisan dan perbuatan. Tahap terakhir adalah ad-diin, yaitu penyerahan diri
secara total kepada Allah, penghambaan diri yang sempurna. Mereka yang
menjalankan ad-diin secara sempurna tidaklah merasa sedih berkepanjangan,
lantaran mereka benar-benar yakin akan jalan yang telah Allah pilihkan
untuknya.
Ada pula sifat-sifat yang menjauhkan manusia dari
kebahagiaan, antara lain adalah takut mati. Pada dasarnya perasaan ini
menimpa mereka yang tak tahu mati. Mereka tidak tahu kemana jiwa raganya
pergi sesudah mati, atau disangka setelah tubuhnya hancur maka jiwanya pun ikut
hancur, sedangkan alam ini kekal dan orang lain terus mengecap nikmat,
sementara dirinya tak ada lagi di sana. Ada juga yang menyangka bahwa
kematian itu adalah penyakit yang paling hebat. Akan tetapi semua
penyakit ada obatnya, kecuali kematian, karena kematian itu bukanlah
penyakit. Sebagian orang memang suka hidup lama tetapi tak suka
tua. Pikiran semacam ini, menurut Hamka, tidaklah waras.
Oleh karena itu, pesan Hamka, jika ingin jadi
orang kaya, maka cukupkanlah apa yang ada, peliharalah sifat qana’ah, jangan
bernafsu mendapatkan kepunyaan orang lain, hiduplah sepenuhnya dalam ketaatan
kepada Allah saja. Kekayaan hakiki ialah mencukupkan apa yang ada, baik
banyak maupun sedikitnya, sebab ia adalah nikmat dari Allah. Jika
kekayaan melimpah, ingatlah bahwa harta itu untuk menyokong amal dan
ibadah. Harta tidak dicintai karena ia harta, melainkan hanya karena ia
pemberian Allah, dan ia dipergunakan untuk sesuatu yang bermanfaat.
Inilah jiwa yang bahagia